Prabowo Sebut Industri Penyiaran Keluhkan Hukum Digital

Isu terkait platform digital dan aturan penyiaran kembali mencuat. Beberapa pihak mengungkapkan kekhawatiran mengenai dampak regulasi baru terhadap perkembangan sektor ini.
Perdebatan mengenai revisi UU 32/2002 terus berlanjut di tingkat legislatif. Komisi I DPR saat ini aktif membahas draf perubahan untuk menyesuaikan dengan perkembangan teknologi terkini.
Pembahasan ruu penyiaran menjadi semakin relevan seiring pesatnya transformasi digital. Banyak kalangan berharap regulasi baru dapat menciptakan ekosistem yang lebih adil bagi semua pemain.
Artikel ini akan mengupas akar permasalahan dan alternatif solusi yang mungkin diterapkan. Dengan memahami konteks lengkap, diharapkan muncul perspektif baru tentang masa depan dunia penyiaran tanah air.
Latar Belakang Keluhan Industri Penyiaran
Transformasi teknologi memicu perdebatan tentang aturan penyiaran. Banyak pihak menilai regulasi saat ini belum mampu menjawab tantangan era digital. Lembaga penyiaran tradisional merasa dirugikan oleh ketidakseimbangan ini.
Pandangan Ahli tentang Perlunya Regulasi Baru
Ignatius Haryanto, dosen FIKOM UMN, menegaskan pentingnya undang-undang khusus untuk platform digital. Menurutnya, teknologi penyiaran dan digital memiliki karakteristik yang berbeda.
“Kita tidak bisa menyamakan aturan untuk siaran TV dengan YouTube. Infrastrukturnya berbeda, model bisnisnya juga berbeda.”
Proses Revisi UU Penyiaran
RDPU Panja Komisi I DPR digelar pada 15 Juli 2025. Agenda utamanya adalah membahas draf revisi UU 32/2002. Pemerintah melalui Wamenkominfo Nezar Patria menyatakan komitmen untuk reformasi regulasi.
Aspek | Penyiaran Tradisional | Platform Digital |
---|---|---|
Infrastruktur | Frekuensi terbatas | Jangkauan global |
Regulasi | Ketat (UU 32/2002) | Lebih fleksibel |
Pendapatan | Iklan menurun 32% (2020-2025) | Berkembang pesat |
Data terbaru menunjukkan penurunan iklan di media konvensional. Hal ini memperkuat argumen perlunya penyesuaian ruu penyiaran.
Penyebab Keluhan Industri Penyiaran Terhadap Hukum Digital
Dunia penyiaran dan platform digital menghadapi tantangan berbeda. Aturan yang berlaku saat ini dinilai belum mampu menyeimbangkan keduanya.
Perbedaan Regulasi Penyiaran dan Platform Digital
Lembaga penyiaran tradisional diatur oleh UU 32/2002 dengan ketentuan ketat. Sementara itu, platform digital hanya mengikuti community guidelines dan UU ITE.
Perbedaan utama terlihat dari kewajiban konten lokal. TV kabel wajib menayangkan 40% produksi dalam negeri. Platform streaming hanya perlu mengalokasikan 20% pendapatan untuk konten lokal.
Ketidakseimbangan Aturan dan Inovasi
Mekanisme penghapusan konten menjadi sorotan. Platform digital bisa menurunkan 150.000 konten sepanjang 2024 berdasarkan Permenkominfo No.5/2024. Proses ini dinilai lebih cepat dibanding lembaga penyiaran.
Pembagian pendapatan iklan juga tidak proporsional. Iklan di media digital tumbuh pesat, sementara televisi konvensional mengalami penurunan 32% sejak 2020.
“Regulasi harus adil bagi semua pemain. Baik yang menggunakan frekuensi terbatas maupun yang beroperasi di ruang tanpa batas.”
Dominasi konten asing di platform seperti Netflix dan Disney+ semakin memperlebar kesenjangan. Tanpa penyesuaian aturan, lembaga penyiaran lokal akan semakin tertinggal.
Platform Digital dan Aturan yang Berlaku
Berbeda dengan lembaga penyiaran konvensional, platform digital memiliki sistem regulasi yang unik. Mereka mengandalkan community guidelines dan aturan internal untuk mengelola konten.
Community Guidelines dan Mekanisme Internal
Setiap platform memiliki panduan khusus untuk pengguna. YouTube, TikTok, dan Facebook menerapkan sistem moderasi otomatis dan manual. Konten yang melanggar bisa langsung diturunkan.
Mekanisme pelaporan juga mudah diakses. Pengguna bisa melaporkan konten ilegal melalui fitur internal atau portal aduankonten.id.
“Sistem moderasi kami dirancang untuk melindungi pengguna sekaligus mendukung kreativitas.”
Peran UU ITE dan Permenkominfo
Selain aturan internal, platform digital diatur oleh UU ITE dan Permenkominfo. Pelanggaran berat bisa berujung pada denda hingga Rp50 miliar.
Jenis Pelanggaran | Sanksi Administratif | Dasar Hukum |
---|---|---|
Konten SARA | Pemblokiran | Permenkominfo No.8/2023 |
Pelanggaran Privasi | Denda Rp500 juta | UU ITE Pasal 26 |
Hoax Berbahaya | Denda Rp50 miliar | UU ITE Pasal 28 |
Efektivitas regulasi ini terus dipantau oleh komisi DPR. Beberapa pihak menilai perlu ada revisi undang-undang untuk menyesuaikan dengan perkembangan terkini.
Data SAFEnet menunjukkan, sistem moderasi TikTok lebih cepat merespon dibanding YouTube. Namun, keduanya masih menghadapi tantangan dalam menangani konten sensitif.
Tantangan Industri Penyiaran di Era Digital
Perubahan tren konsumen membawa dampak besar bagi dunia penyiaran. Lembaga tradisional kini harus bersaing ketat dengan platform digital yang lebih fleksibel. Data terbaru menunjukkan 65% alokasi iklan nasional telah beralih ke ruang digital.
Pergeseran Konsumsi Iklan ke Platform Digital
Pola konsumsi konten yang berubah memengaruhi preferensi pengiklan. Platform seperti YouTube dan TikTok menawarkan target audiens yang lebih spesifik dengan biaya lebih efisien.
Studi kasus RCTI Cabang Makassar menunjukkan dampak nyata. Stasiun ini terpaksa tutup setelah pendapatan iklan turun 47% dalam setahun terakhir.
Beberapa lembaga penyiaran besar mengambil langkah strategis. TransTV mengakuisisi startup digital, sementara MNC Group meluncurkan Vision+ untuk bertahan di persaingan.
Dampak pada Media Lokal dan Lembaga Penyiaran
Media lokal menjadi pihak yang paling rentan terkena dampak. Sebanyak 120 stasiun TV daerah terancam tutup akibat penurunan pendapatan yang signifikan.
Pengelola RTV menyatakan:
“Kami harus berinovasi dengan strategi multiplatform. Konten eksklusif dan kolaborasi dengan kreator digital menjadi kunci bertahan.”
Pemerintah melalui Kominfo berupaya membantu dengan program dana produksi senilai Rp500 miliar. Ini ditujukan untuk mendukung media lokal menciptakan konten berkualitas.
Diperlukan revisi kebijakan untuk menyeimbangkan persaingan. Regulasi yang adil akan melindungi semua pemain tanpa menghambat inovasi di era digital.
Kesimpulan
Perkembangan teknologi menghadirkan tantangan baru bagi ekosistem media. Penyelesaian ruu penyiaran menjadi kunci untuk menciptakan level playing field yang adil.
Proyeksi Komisi I DPR menargetkan finalisasi revisi UU pada kuartal III 2025. Ini akan menjadi momentum penting bagi platform digital dan penyiaran tradisional.
Kolaborasi antara pemerintah, asosiasi media, dan kreator konten diperlukan. Sinergi ini akan mempercepat adaptasi di era disruptif.
Dukungan publik melalui gerakan #NontonTVLokal bisa menjaga keberlanjutan industri. Dengan regulasi tepat, transformasi digital akan membawa manfaat bagi semua pihak.
➡️ Baca Juga: Review Lengkap Tecno Camon 22 Premier: Smartphone Murah dengan Kualitas Tinggi
➡️ Baca Juga: Review JBL Charge 6: Speaker Bluetooth Waterproof Terbaik 2025, Kualitas Suara Bass, Daya Tahan Baterai, dan Kekurangannya